“Islam agamaku, Islam paling benar!!! Hanya
Islam yang pantas masuk surga!!! Yang lainnya adalah kafir dan akan masuk
Neraka!!!” Sering kudengar kata-kata itu yang keluar dari beberapa ucapan orang
muslim di sekitarku dan kuamini saja “waktu itu.” Hingga beberapa waktu yang lalu tepatnya
ketika putih abu-abuku ku simpan dalam lemari untuk selamanya dan kuseberangi
dangkalan Sunda di laut jawa menuju ke tenggara. Setelah itu kulanjutkan
perjalanan dengan besi tua mengular panjang di atas jalanan besi sejajar menuju
kota Pelajar. Ya, Yogyakarta, kota kelahiranku dengan banyak sebutan untuk nama
panggilannya.
Di
kota ini aku tidaklah untuk bernostalgia ataupun berdarma wisata seperti
kebanyakan turis. Cita-citaku yang tinggi mengharuskan aku untuk tetap memiliki
asa berusaha untuk mencapainya. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga(UIN
SUKA) adalah tujuanku, bukan hanya karena kata negeri saja yang menarik
perhatianku, tapi SPP-nya yang termurah di dunia akhirat (kata pengasong soal
tes masuk perguruan tinggi di UIN) adalah impian bagi pemuda yang kere
sepertiku. Sebelumnya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) lah inginku, tapi
SNMPTN Undanganlah yang memutuskan harapanku untuk menjadi pengabdi di
almamaterku dulu.
Tes
masuk UIN Sunan Kalijaga tak mampu kutaklukan dan swastalah opsi terakhirku.
Pendaftaran tanpa tes pun ku coba, hanya mencantumkan nilai UN pun cukuplah
kata beberapa PTS di Yogya. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menerimaku
dan kupilih dengan mengorbankan beasiswa yang tetap saja harus berbayar mahal di PTS satunya. Di UMY jurusanku adalah
jurusan termurah kedua setelah Pendidikan Agama Islam. Ekonomi Perbankan Islam
atau banyak dikenal sebagai Ekonomi Syariah. Dari Universitas itu aku mulai
memahami sedikit banyaknya ideologi Muhammadiyah dan aku mulai tertarik di
dalamnya karena Ijtihadnya itu yang member peluang pemanfaatan akal semaksimal
mungkin tanda bersyukur. Namun di sisi lain hati kurang sependapat mengenai
keharusan penghapusan beberapa budaya yang menurutnya tak sesuai dengan aqidah
atau di kenal dengan makna pemurnian aqidah. Karena bagaimanapun agama Islam
hadir di negeri ini bukanlah sebagai agama asli.
Munculnya
Sang Pencerah garapan Hanung Bramantyo atas tulisan dari novelis Akmal Nasery Basral ini mempengaruhi keinginanku masuk lebih dalam di Muhammadiyah. Hingga sempat
berdebat tak serius namun berlarut-larut dengan Bapakku yang lebih condong
kepada Nahdatul Ulama (NU).
Penanggalan
hari raya tahun 2011 adalah semangatku untuk mengamini penetapan 1 Syawal ala
Muhammadiyah meski ketika itu penetapan berbeda dengan pemerintah. Namun sayang
Pulau Belitung bukan seMuhammadiyah Yogya, hingga sulit kutemukan Surau atau
Masjid yang mengadakan shalat Id sesuai penanggalan rukyat-nya Muhammadiyah. Walaupun demikian aku sudah memulai puasa
lebih awal dari penetapan pemerintah. Ini karena aku tinggal dengan Budheku di
Kotagede yang kental dengan Muhammadiyahnya.
Keluargaku
bukanlah keluarga yang agamis, malahan Ibuku terlahir dari keluarga yang pernah
murtad karena misionaris Nasrani cukup kuat di tempat tinggalnya. Meski nenekku
meninggal mualaf, namun bagaimana dengan kakekku? Ke nerakakah beliau? Aku
berharap tidak! Meski tak pernah kumengenalnya lebih jauh dari sekedar foto
hitam-putihnya, namun aku tak pernah ingin ia menderita di neraka. Ia adalah
kakekku, ayah dari ibu yang mengandungku. Namun, dogma-dogma agama yang di
berikan beberapa orang tentang non-muslim sama dengan kafir. Pernah kuberfikir
apakah surga ini hanya milik seorang muslim? Lalu bagaimana dengan non-muslim
yang ia tak pernah mengetahui lebih pemahaman agama, selain hanya beribadah dan
mengikuti kata pemimpinnya? Apakah mereka masuk neraka? Atau surga kitakah yang
berbeda?
Saudara
budheku (dari ibu) adalah nasrani, ia sangatlah baik kepadaku bahkan kepada
beberapa tetangganya dan sanak keluarganya, itu setahuku. Bahkan ia sangat rapi
dan tekun merawat kebersihan rumah juga kebunnya. Beberapa tahun yang lalu aku
pernah di undang kerumahnya bersama keluarga budheku unuk makan-makan di malam
natal. Aku yang sewaktu itu masih kecil dan jarang makan-makanan semewah itu
sangat gembira menyantap semua makanan yang tersusun rapi di meja makan jumbo.
Meskipun ia non-muslim namun ia tak menghidangkan makanan haram menurut agama
Islam. Ia menghargai kami sebagi tamunya, dan aku juga yakin beliau tidaklah
suka makanan haram itu meski tak di haramkan di agamanya. Malam itu kami pulang
membawa kado tak sederhana yang di ambil dibawah pohon natal, masing-masing
satu. Beliau telah meniggal sekarang, tak sempat di mualafkan terlebih dahulu,
meski salah satu anaknya Islam. Kini ku tahu mengucapkan selamat natal saja itu
dosa!!! Meski mereka selalu bertoleran berucap lebaran kepada kita. Sekali lagi,
ku tak rela Tuhan kirimkan orang sebaik beliau ke neraka. Semoga jangan.
Semester
satu berakhir, dan berakhirlah kuliahku di UMY. Aku keluar dengan berbagai
pertimbangan. Namun, berakhirnya kuliahku di UMY bukan akhir dari segalanya.
Aku tetap berproses, Islam yang sempurna masih jauh dari perilakuku.
Bekerja
ataupun mengikuti kursus bahasa, itu titah dari ayahanda di sebrang sana. Suaranya
dikirim melali mesin canggih abad 21 yang kini menjadi salah satu gejala agama
popular, selain klub sepak bola. Kupilih bekerja. Di travel agen dan tour milik
teman kerabatku. Di sana selama lima bulan menambah wawasanku di beberapa
bidang, bahasa, sosial, manajemen dan juga pariwisata tentunya.
Bertemu
dengan beberapa orang asing dan berkelakar dengan mereka adalah hal yang
menyenangkan. Pembicaraan kami sepenuhnya becanda untuk hiburan, namun
terkadang berbalik arus menjadi obrolan serius ketika menyangkut agama. “Agama
Perdamaian!!!” Itu celoteh temanku asli Australia. Mereka memaknai agama dengan
rasionalnya mereka. Namun mereka lebih “sopan dan satun” lebih dari orang yang
mengaku beragama, dalam kehidupannya terhadap manusia dan hubungannya dengan
alam.
Lain
orang Australia lagi lagi kenalanku asal Spanyol. Dia sangat anti agama, ia
juga heran kepada muslimah dengan jilbabnya di negara Indonesia yang tropis
ini. Ia juga heran terhadap perilaku freesex
yang nikmat itu tak di lakukan muslim. Bahkan ia lebih terheran ketika
mengetahui Islam melarang pacaran dan menikah hanya dengan sekali bertemu. Ya,
yang satu ini memang keras kepala namun aku tak terlalu menghiraukannya.
Pendaftaran
Mahasiswa Baru 2012 tiba. Semua alur kucoba memaksa menjebol penyeleksian itu dan
membalaskan dendam tahun lalu. Masih di UIN tentunya. “Bermimpilah, maka Tuhan
akan memeluk mimpi-mimpimu.” Ucapan Aray dalam novel Andrea Hirata itu terus
menggema bagi makluk yang tinggal satu pulau dengannya. Kalimat tersebut
ternyata di dengar Tuhan. Anda Lolos Tes SPMB-PTAIN (Seleksi Penerimaan
Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)!!! Jurusan Ilmu Komunikasi
yang tak pernah kuketahui bahwa sangat kental keikutsertaan mata kuliah agama
didalamnya, padahal Fakultas Ilmu Sosial dan Humniora. Persepsi awalku telah
salah, aku seperti terjebak didalam Ilmu Agama yang berkepanjangan. Setelah
mendengar Integrasi-Interkoneksi Ilmu Umum dan Ilmu Agama.
Aku
anak sosial di SMA Negeri, tak pernah menyentuh buku keagamaan mendasar kala
itu. Bahkan pondok pesantren pun terasa asing di dalam pendengaranku. Hanya
kuliah di UMY-lah modal utama kenekatanku.
UIN
Sunan Kalijaga memutar-balikan pengetahuan agamaku hingga 180 derajat.
Dosen-dosen pengampu mata kuliah keagamaannya sungguh membukakan pikiranku,
meski tak semuanya kuterima begitu saja, tapi logikaku menerimanya tanpa
hambatan. Di Universitas ini bermacam-macam latar belakang beretrorika
menanamkan ideologinya kepada yang lain. Pantaslah orang-orang hebat banyak
lahir disini, meski bukan dari fakultas ini yang terbilang masih belia dibanding
lainnya.
Tiga
hubungan penting yang selalu kuingat dan berusaha kupahami hingga kuamalkan. Hambluminallah, hablumminannas dan yang
baru saja kudengar yaitu habluminal’alam.
Yang pertama melambangkan manusia sebagai seorang religius, berhubungan secara
transendental. Kedua, lambang manusia sebagai makluk sosoal. Ketiga, adalah
manusia sebagai khalifah di muka Bumi yang tugasnya menjaga alam ini dari
kerusakan hawa nafsu manusia itu sendiri.
Menurut
hemat saya, orang muslim cenderung memperkuat hubungan yang pertama. Walaupun
hubungan kedua dan ketiga itu ada di Islam, namun kebanyakan muslim lebih
mengutamakan hubungannya dengan Sang Pencipta (transendental). Nasrani
sebaliknya ia lebih cenderung memperkuat hubungan yang kedua. Jiwa sosialnya
lebih di utamakan (horizontal). Sedangkan Budha, mereka lebih cenderung
mengutamakan hubungan spiritualnya dengan alam. Itu yang kutangkap dalam
empirisku hingga saat ini. Dari situ kusadari bahwa dialog agama itu penting.
Sinkretisme!!!Apa
itu boleh atau tidak??? Menurutku itu bukanlah yang di larang, yang penting tak
mempengaruhi pengamalan kita dalam peribadatan. Jika itu terjadi di bidang
lain, yang mampu memperbaiki pribadi kita dalam menuju kebaikan. Kenapa tidak!
Pengalaman
selanjutnya, yang masih sangat membekas adalah aktivitas dialog antar agama.
Seorang pastur di datangkan dalam mata kuliah Tauhid. Satu kalimat terpenting
dari pastur tersebut,” Beribadah itu bukan untuk mengharapkan pahala, untuk
mendapatkan surga dan menghindari neraka semata. Tapi beribadah itu juga sebagai
rasa terima kasih kita kepada Tuhan.” Sehingga beberapa orang terlalu riya’
dengan peribadahannya saja, lalu mengklaim ia dan kelompoknya saja yang pantas
menjadi calon penghuni surga.
Teroris
dimana-mana??? Inilah yang sangat mengecewakan, mereka muslim, mereka membawa
pesan agama (katanya). Itu jihadnya untuk memusuhi kaum kafir? Namun yang terjadi, stereotipe terhadap Islam
sebagai agama arogan terus mendengung menulikan telinga.
Ketika
ia berbicara Al-Qur’an tak sepantasnya hanya mengartikan secara tekstual.
Karena kitab itu bukanlah bahasa Arab sepenuhnya. Al-Qur’an adalah bahasa
Tuhan. Jika para teroris itu mengatas namakan pesan di Al-Qur’an untuk jihadnya,
maka Al-Qur’an yang mana? Karena kitab Allah adalah kesatuan, memahaminya pun
harus komperhensip. Ketika ada ayat, ”Arrahmaan,
arrahiim..” yang berarti Tuhan itu Maha penyayang lagi Maha Pengasih. Maka
apa bedanya kita dengan bangsa yang memusuhi Islam? Bukankah yang harus di
tonjolkan adalah “sadar” beragama? Bukan semangat beragama!!! Yang berakibat
konflik ada dimana-mana.
Bagaimana
dengan korupsi??? Ah..sudahlah, terkadang orang Islam tidak mampu mengamalkan
keislamannya dan sebaliknya orang non-muslim masih banyak yang lebih Islami.
Ini hanyalah subjektifitas saya semata, ketumpulan analisa serta kekurang
pengalaman di bidang agama masihlah terlalu akut. Namun asa untuk mencapai
Islam yang sempurna tetaplah berlanjut, seperti angin yang meniupkan ombak di
bawah kapal yang mengangkutku dari Belitung ke tanah perantauan, yang tak
hayalnya tanah kelahiranku sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar