Minggu, 19 Mei 2013

Kegelisahanku Terhadap Agama


 “Islam agamaku, Islam paling benar!!! Hanya Islam yang pantas masuk surga!!! Yang lainnya adalah kafir dan akan masuk Neraka!!!” Sering kudengar kata-kata itu yang keluar dari beberapa ucapan orang muslim di sekitarku dan kuamini saja “waktu itu.”  Hingga beberapa waktu yang lalu tepatnya ketika putih abu-abuku ku simpan dalam lemari untuk selamanya dan kuseberangi dangkalan Sunda di laut jawa menuju ke tenggara. Setelah itu kulanjutkan perjalanan dengan besi tua mengular panjang di atas jalanan besi sejajar menuju kota Pelajar. Ya, Yogyakarta, kota kelahiranku dengan banyak sebutan untuk nama panggilannya.
Di kota ini aku tidaklah untuk bernostalgia ataupun berdarma wisata seperti kebanyakan turis. Cita-citaku yang tinggi mengharuskan aku untuk tetap memiliki asa berusaha untuk mencapainya. Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga(UIN SUKA) adalah tujuanku, bukan hanya karena kata negeri saja yang menarik perhatianku, tapi SPP-nya yang termurah di dunia akhirat (kata pengasong soal tes masuk perguruan tinggi di UIN) adalah impian bagi pemuda yang kere sepertiku. Sebelumnya Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) lah inginku, tapi SNMPTN Undanganlah yang memutuskan harapanku untuk menjadi pengabdi di almamaterku dulu.
Tes masuk UIN Sunan Kalijaga tak mampu kutaklukan dan swastalah opsi terakhirku. Pendaftaran tanpa tes pun ku coba, hanya mencantumkan nilai UN pun cukuplah kata beberapa PTS di Yogya. Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menerimaku dan kupilih dengan mengorbankan beasiswa yang tetap saja harus berbayar  mahal di PTS satunya. Di UMY jurusanku adalah jurusan termurah kedua setelah Pendidikan Agama Islam. Ekonomi Perbankan Islam atau banyak dikenal sebagai Ekonomi Syariah. Dari Universitas itu aku mulai memahami sedikit banyaknya ideologi Muhammadiyah dan aku mulai tertarik di dalamnya karena Ijtihadnya itu yang member peluang pemanfaatan akal semaksimal mungkin tanda bersyukur. Namun di sisi lain hati kurang sependapat mengenai keharusan penghapusan beberapa budaya yang menurutnya tak sesuai dengan aqidah atau di kenal dengan makna pemurnian aqidah. Karena bagaimanapun agama Islam hadir di negeri ini bukanlah sebagai agama asli.
Munculnya Sang Pencerah garapan Hanung Bramantyo atas tulisan dari novelis Akmal Nasery Basral ini mempengaruhi keinginanku masuk lebih dalam di Muhammadiyah. Hingga sempat berdebat tak serius namun berlarut-larut dengan Bapakku yang lebih condong kepada Nahdatul Ulama (NU).
Penanggalan hari raya tahun 2011 adalah semangatku untuk mengamini penetapan 1 Syawal ala Muhammadiyah meski ketika itu penetapan berbeda dengan pemerintah. Namun sayang Pulau Belitung bukan seMuhammadiyah Yogya, hingga sulit kutemukan Surau atau Masjid yang mengadakan shalat Id sesuai penanggalan rukyat-nya Muhammadiyah. Walaupun demikian aku sudah memulai puasa lebih awal dari penetapan pemerintah. Ini karena aku tinggal dengan Budheku di Kotagede yang kental dengan Muhammadiyahnya.
Keluargaku bukanlah keluarga yang agamis, malahan Ibuku terlahir dari keluarga yang pernah murtad karena misionaris Nasrani cukup kuat di tempat tinggalnya. Meski nenekku meninggal mualaf, namun bagaimana dengan kakekku? Ke nerakakah beliau? Aku berharap tidak! Meski tak pernah kumengenalnya lebih jauh dari sekedar foto hitam-putihnya, namun aku tak pernah ingin ia menderita di neraka. Ia adalah kakekku, ayah dari ibu yang mengandungku. Namun, dogma-dogma agama yang di berikan beberapa orang tentang non-muslim sama dengan kafir. Pernah kuberfikir apakah surga ini hanya milik seorang muslim? Lalu bagaimana dengan non-muslim yang ia tak pernah mengetahui lebih pemahaman agama, selain hanya beribadah dan mengikuti kata pemimpinnya? Apakah mereka masuk neraka? Atau surga kitakah yang berbeda?
Saudara budheku (dari ibu) adalah nasrani, ia sangatlah baik kepadaku bahkan kepada beberapa tetangganya dan sanak keluarganya, itu setahuku. Bahkan ia sangat rapi dan tekun merawat kebersihan rumah juga kebunnya. Beberapa tahun yang lalu aku pernah di undang kerumahnya bersama keluarga budheku unuk makan-makan di malam natal. Aku yang sewaktu itu masih kecil dan jarang makan-makanan semewah itu sangat gembira menyantap semua makanan yang tersusun rapi di meja makan jumbo. Meskipun ia non-muslim namun ia tak menghidangkan makanan haram menurut agama Islam. Ia menghargai kami sebagi tamunya, dan aku juga yakin beliau tidaklah suka makanan haram itu meski tak di haramkan di agamanya. Malam itu kami pulang membawa kado tak sederhana yang di ambil dibawah pohon natal, masing-masing satu. Beliau telah meniggal sekarang, tak sempat di mualafkan terlebih dahulu, meski salah satu anaknya Islam. Kini ku tahu mengucapkan selamat natal saja itu dosa!!! Meski mereka selalu bertoleran berucap lebaran kepada kita. Sekali lagi, ku tak rela Tuhan kirimkan orang sebaik beliau ke neraka. Semoga jangan.
Semester satu berakhir, dan berakhirlah kuliahku di UMY. Aku keluar dengan berbagai pertimbangan. Namun, berakhirnya kuliahku di UMY bukan akhir dari segalanya. Aku tetap berproses, Islam yang sempurna masih jauh dari perilakuku.
Bekerja ataupun mengikuti kursus bahasa, itu titah dari ayahanda di sebrang sana. Suaranya dikirim melali mesin canggih abad 21 yang kini menjadi salah satu gejala agama popular, selain klub sepak bola. Kupilih bekerja. Di travel agen dan tour milik teman kerabatku. Di sana selama lima bulan menambah wawasanku di beberapa bidang, bahasa, sosial, manajemen dan juga pariwisata tentunya.
Bertemu dengan beberapa orang asing dan berkelakar dengan mereka adalah hal yang menyenangkan. Pembicaraan kami sepenuhnya becanda untuk hiburan, namun terkadang berbalik arus menjadi obrolan serius ketika menyangkut agama. “Agama Perdamaian!!!” Itu celoteh temanku asli Australia. Mereka memaknai agama dengan rasionalnya mereka. Namun mereka lebih “sopan dan satun” lebih dari orang yang mengaku beragama, dalam kehidupannya terhadap manusia dan hubungannya dengan alam.
Lain orang Australia lagi lagi kenalanku asal Spanyol. Dia sangat anti agama, ia juga heran kepada muslimah dengan jilbabnya di negara Indonesia yang tropis ini. Ia juga heran terhadap perilaku freesex yang nikmat itu tak di lakukan muslim. Bahkan ia lebih terheran ketika mengetahui Islam melarang pacaran dan menikah hanya dengan sekali bertemu. Ya, yang satu ini memang keras kepala namun aku tak terlalu menghiraukannya.
Pendaftaran Mahasiswa Baru 2012 tiba. Semua alur kucoba memaksa menjebol penyeleksian itu dan membalaskan dendam tahun lalu. Masih di UIN tentunya. “Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpimu.” Ucapan Aray dalam novel Andrea Hirata itu terus menggema bagi makluk yang tinggal satu pulau dengannya. Kalimat tersebut ternyata di dengar Tuhan. Anda Lolos Tes SPMB-PTAIN (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri)!!! Jurusan Ilmu Komunikasi yang tak pernah kuketahui bahwa sangat kental keikutsertaan mata kuliah agama didalamnya, padahal Fakultas Ilmu Sosial dan Humniora. Persepsi awalku telah salah, aku seperti terjebak didalam Ilmu Agama yang berkepanjangan. Setelah mendengar Integrasi-Interkoneksi Ilmu Umum dan Ilmu Agama.
Aku anak sosial di SMA Negeri, tak pernah menyentuh buku keagamaan mendasar kala itu. Bahkan pondok pesantren pun terasa asing di dalam pendengaranku. Hanya kuliah di UMY-lah modal utama kenekatanku.
UIN Sunan Kalijaga memutar-balikan pengetahuan agamaku hingga 180 derajat. Dosen-dosen pengampu mata kuliah keagamaannya sungguh membukakan pikiranku, meski tak semuanya kuterima begitu saja, tapi logikaku menerimanya tanpa hambatan. Di Universitas ini bermacam-macam latar belakang beretrorika menanamkan ideologinya kepada yang lain. Pantaslah orang-orang hebat banyak lahir disini, meski bukan dari fakultas ini yang terbilang masih belia dibanding lainnya.
Tiga hubungan penting yang selalu kuingat dan berusaha kupahami hingga kuamalkan. Hambluminallah, hablumminannas dan yang baru saja kudengar yaitu habluminal’alam. Yang pertama melambangkan manusia sebagai seorang religius, berhubungan secara transendental. Kedua, lambang manusia sebagai makluk sosoal. Ketiga, adalah manusia sebagai khalifah di muka Bumi yang tugasnya menjaga alam ini dari kerusakan hawa nafsu manusia itu sendiri.
Menurut hemat saya, orang muslim cenderung memperkuat hubungan yang pertama. Walaupun hubungan kedua dan ketiga itu ada di Islam, namun kebanyakan muslim lebih mengutamakan hubungannya dengan Sang Pencipta (transendental). Nasrani sebaliknya ia lebih cenderung memperkuat hubungan yang kedua. Jiwa sosialnya lebih di utamakan (horizontal). Sedangkan Budha, mereka lebih cenderung mengutamakan hubungan spiritualnya dengan alam. Itu yang kutangkap dalam empirisku hingga saat ini. Dari situ kusadari bahwa dialog agama itu penting.
Sinkretisme!!!Apa itu boleh atau tidak??? Menurutku itu bukanlah yang di larang, yang penting tak mempengaruhi pengamalan kita dalam peribadatan. Jika itu terjadi di bidang lain, yang mampu memperbaiki pribadi kita dalam menuju kebaikan. Kenapa tidak!
Pengalaman selanjutnya, yang masih sangat membekas adalah aktivitas dialog antar agama. Seorang pastur di datangkan dalam mata kuliah Tauhid. Satu kalimat terpenting dari pastur tersebut,” Beribadah itu bukan untuk mengharapkan pahala, untuk mendapatkan surga dan menghindari neraka semata. Tapi beribadah itu juga sebagai rasa terima kasih kita kepada Tuhan.” Sehingga beberapa orang terlalu riya’ dengan peribadahannya saja, lalu mengklaim ia dan kelompoknya saja yang pantas menjadi calon penghuni surga.
Teroris dimana-mana??? Inilah yang sangat mengecewakan, mereka muslim, mereka membawa pesan agama (katanya). Itu jihadnya untuk memusuhi kaum kafir?  Namun yang terjadi, stereotipe terhadap Islam sebagai agama arogan terus mendengung menulikan telinga.
Ketika ia berbicara Al-Qur’an tak sepantasnya hanya mengartikan secara tekstual. Karena kitab itu bukanlah bahasa Arab sepenuhnya. Al-Qur’an adalah bahasa Tuhan. Jika para teroris itu mengatas namakan pesan di Al-Qur’an untuk jihadnya, maka Al-Qur’an yang mana? Karena kitab Allah adalah kesatuan, memahaminya pun harus komperhensip. Ketika ada ayat, ”Arrahmaan, arrahiim..” yang berarti Tuhan itu Maha penyayang lagi Maha Pengasih. Maka apa bedanya kita dengan bangsa yang memusuhi Islam? Bukankah yang harus di tonjolkan adalah “sadar” beragama? Bukan semangat beragama!!! Yang berakibat konflik ada dimana-mana.
Bagaimana dengan korupsi??? Ah..sudahlah, terkadang orang Islam tidak mampu mengamalkan keislamannya dan sebaliknya orang non-muslim masih banyak yang lebih Islami. Ini hanyalah subjektifitas saya semata, ketumpulan analisa serta kekurang pengalaman di bidang agama masihlah terlalu akut. Namun asa untuk mencapai Islam yang sempurna tetaplah berlanjut, seperti angin yang meniupkan ombak di bawah kapal yang mengangkutku dari Belitung ke tanah perantauan, yang tak hayalnya tanah kelahiranku sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar